Home Foto Teater Teater Bali
Kami menerima Naskah, Komentar, Tulisan, Artikel dan sejenisnya. Silahkan kirim ke tomo_orok@hotmail.com
Google

Monolog SSt Diam oleh Giri Ratomo

Sabtu, 10 November 2007

sttt….diam!

Sebuah naskah untuk berlatih monolog. Setting sunggung dibuat tidak ribet, sangat sederhana.

Panggung masih kosong melompong. Sekilas samar-samar terlihat tiang yang tegak menjulang, tak terlalu tinggi. Perlahan lahan areal panggung yang tadinya gelap mulai meremang setelah lampu yang terletak tepat di atas tiang mulai menyala.

Entah dari sudut mana tiba-tiba muncul seseorang terhuyung-huyung hampir jatuh dengan barang bawaan yang berupa kotak yang cukup banyak. Pasti, orang tersebut berusaha keras mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Kotak-kotak tersebut diletakkan persis dibawah tiang.

Akhirnya nyampai juga. Gara-gara elu gua hampir jatuh keselokan tadi, kurang ajar! Dasar kagak tahu diuntung ! Capai-capai ngebopong bukannya dikasih upah malah mo dijatuhin ! Awas lu ntar kalo macem-macem lagi bakalan gua gebug , mampus !

(Orang itu sibuk menata kotak yang di bawanya persis di bawah tiang, kemudian di duduki)

Eh lu, untuk sementara ini lu diam aja ya! Kagak usah macem-macem, kagak boleh ribut ..aa..untuk sementara lu juga kagak boleh protes kalo sekarang gua ngerokok !

Nah kayak gitu, diaam. Kata orang diam itukan emas, nah, siapa tahu kalau lu bisa diam gua bisa dapet emas..eit, jangan protes nyuruh gua diam, sebab kalau gua yang diam lu kagak bakalan dapet emas.
(Menyalakan rokok)

Hah …hidup jaman sekarang emang serba susah, kalau mau di buat susah. Hidup juga serba gampang kalau kita gampangin.

Ya susah ya gampang, tinggal kitanya.
(mengusap-usap salah satu kotak) Kita. Lha..misalnya ya kaya Aku sama kamu ini, bi patner tugeder. Seperti muka uang logam, sisi yang satu butuh sisi lain. Terus terang kalau aku buka-bukaan sampai detik ini aku masih butuh kamu

Ee…diem aja. Ngomong. Kamu itu kalau aku suruh diem, kamu nyerocos. Kalau aku suruh ngomong, kamu diem. Ngomong. Ayo. Ngga nyesel kalau kamu diem?

Ya sudah. Kalau kamu diem terus. Aku yang ngomong.

(Mengangkat kotak-kotak kayu, memindahkannya di salah satu pojok)

Meski orang bilang kata-kata adalah ular mematikan yang keluar dari lobang hitam dan lidah adalah pedang bermata dua yang siap menikam, tapi tak apa. Toh, saya sudah berada disini. Di ruangan ini sendirian. Sementara berpasang-pasang mata menatap tajam kearah saya dan bertanya-tanya. Bahkan beberapa diantara mereka ada yang berbisik bisik seolah-olah saya asing dan aneh. Berbeda dengan mereka. Ah, kecurigaan macam apa ini? Kecurigaan yang membuat saya harus tertunduk layu ke batu. Tetapi, bukankah kekuasaan ratu Elizabeth yang besar pun dibangun karena rasa kecurigaan yang sedemikian kental? Dan bukankah kecurigaan pula yang telah membawa manusia untuk menjelajahi samudera raya dan melewati sekian tahun cahaya hanya untuk menggenapi sebuah pertanyaan : siapa?

Saya duduk di ruangan ini sebab saya akan menanda tangani kontrak. Sebuah kontrak perjanjian antara saya dengan pemilik ruangan ini. Kebetulan sekali antara saya dengan beliau ada sebuah kesamaan kesenangan.

Saya senang mengubah sesuatu yang mungkin menjadi tidak mungkin ataupun yang ada menjadi tidak ada, sedang pemilik ruangan ini paling senang memutar balikan segala keadaan.

Sstt ..apakah suara saya terlalu keras? Saya takut kalau rahasia ini bocor. Atau mungkin saya sebaiknya yang mengalah?

Baiklah akan saya coba bagaimana kesuksesan pentas saya siang tadi.

Menyulap kelinci dalam topi. Sim salabim. Atau mungkin yang ini, mengubah kertas menjadi bunga.

Maap, saudara kalau saya gagal kali ini. Maklum saya hanya terbiasa menangani kasus-kasus yang lumayan besar. Kalau semisal menyulap kelinci atau menyulap kertas, maap, itu jauh di bawah level saya.

Saya biasa mengubah biodata kartu identitas, dari KTP sampai paspor. Ditangan saya seorang koruptor bisa bebas dari hukum dan tetap menjadi pemimpin. Lewat mantera saya “sim salabim” pecundang pun bisa menjadi wakil rakyat. Bila ada yang ingin menjadi pegawai silahkan hubungi saya. Apapun ijazah anda, berpengalamankah atau tidak. Tak perlu ragu. Sebab saya pun mampu membuat ijazah dan pengalaman tak lagi laku. Atau ada yang ingin mendapatkan cairan dana tanpa jaminan dengan proses yang ditanggung sangat mudah? Atau ada yang ingin jadi walikota, bupati, menteri, presiden? Silahkan hubungi saya. Jangan khawatir sebab saya menyediakan juga paket calon. Atau ada yang menginginkan putra-putrinya masuk perguruan tinggi ternama sementara nilainya jelek dan gagal saat masuk ujian seleksi? Atau ada yang ingin menjadi artis top? Menjadi selebriti? Menjadi direktur rumah sakit? Menjadi Saddam? George Bush? Osamah?

Sayalah pesulap low profile yang bisa mewujudkan semua keinginan semua manusia.

Dengan kekuatan saya, saya mampu membuat pemilik ruangan ini tidak kelihatan. Sim salabim!

Dan sekarang hanya ada saya sendiri di ruangan ini.

Meski sejujurnya saya merasa tertekan di sini. Dan jelas saya merasa sangat tidak nyaman. Kaki dan tangan saya seperti terpaku pada benda keparat ini. Membuat saya sulit untuk bergerak. Bangsat.

(Gugup)

Sttt …. maap ngga sengaja. Sumpah. Saya ngga sengaja ngomong bangsat. Ehhh tuh kan ngomong lagi. Ngga boleh ngomong kayak gitu. Benar.

Itu tadi kesalahan yang tidak saya sengaja. Saya mengerti betul kode etik disini. Iya. Di larang keras ngomong jorok dan menghujat apalagi yang menjurus ke arah pornoaksi dan pornografi!

Ini salah satu yang membuat saya tertekan.

Hampir setiap sudut di ruangan ini dilengkapi dengan peralatan canggih yang mampu merekam suara dan gambar sedetail mungkin. Ibaratnya, meski hanya bisik-bisik dengan volume yang paling minim pun, akan terdengar dengan jelas dan terekam disana.

Bahkan, bila saya membaca tulisan sekecil semutpun bisa di zoom hingga jelas sejelas jelasnya. Dan jelas saya merasa betul betul sangat tidak nyaman berada di sini.

Saya merasa ada seribu pasang mata yang selalu memperhatikan setiap gerak gerik saya. Wajar bila tumbuh rasa was-was di sini. Di batin ini. Jangan-jangan dag dig dug jantung saya terdengar sampai kesana. Jangan-jangan napas saya setiap harinyapun sudah dijatah. Jangan-jangan saya akan dituduh korup bila bernapas kelebihan satu kali sedotan. Jangan-jangan mimpi saya kemarin malam pun sudah dianalisa dan digolongkan sebagai tindakan yang mengganggu stabilitas keamanan. Jangan-jangan hanya berangan-angan pun sebenarnya sudah dideteksi dan direkam. Jangan-jangan berangan-anganpun dituduh melakukan tindakan subversive. Jangan-jangan…Aduhhh . bagaimana ini? Saya harus bagaimana? Kalau tiba-tiba semua orang memandang saya dengan curiga, kemudian saya dikucilkan, kemudian orang bisik-bisik ketika saya lewat, kemudian muncul satu kata yang sangat menyeramkan : subversive!

Terus apa yang harus saya lakukan bila saya dituduh subversive?

(Memindahkan dan membuka salah satu peti)

Saya harus membuat pledoi. Ya. Saya akan menyusun sebuah pembelaan terhadap angan-angan saya.

Bayangkan. Orang sekurus ini membawa buku setebal dua ribu lima ratus dua puluh lima halaman. Meski keberatan, namun kaki saya cukup gagah untuk melangkah memasuki ruangan pengadilan. Siang itu ruang pengadilan tampak lebih ramai dari biasanya. Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum tampak memasang muka sangar di depan saya. Sementara saya sendiri. Tanpa Pengacara. Apa daya saya tak mampu untuk membayar seorang pengacara untuk membela saya. Lagian akhir-akhir ini para pengacara lebih banyak memilih menjadi pembela kasus-kasus yang bisa meroketkan nama mereka. Atau kalau tidak ya mendampingi orang-orang kaya yang terbelit utang atau menjadi pahlawan dalam kasus gugat menggugat. Meski tanpa pengacara, tak menjadi soal.

Saya tetap penuh percaya diri untuk duduk di kursi terdakwa kasus subversive. Para pengunjung pengadilan yang dari pagi menunggu semakin tidak sabar untuk mengikuti jalannya pengadilan. Dugaan saya tidak salah, sejak semula saya yakin semua pertanyaan Jaksa bersumber dari kenapa saya mempunyai sebuah angan-angan. Dan saya sudah hapal betul ringkasan pledoi yang tebal itu. Saya akan jawab dengan gagah : Yang Mulia, angan-angan adalah harta tertinggi semua manusia yang paling mungkin dimiliki. Meski saya miskin toh saya merasa kaya akan angan-angan. Biarpun ribuan orang antri untuk membeli angan-angan saya, takkan mungkin saya jual.

Saya membayangkan semua orang akan mengangkat tangannya dan bertepuk tangan untuk menghormati keberanian saya.

Kalau toh akhirnya saya tetap diskak mat dengan pernyataan bahwa berangan-angan adalah sebuah tindakan subversive, biarlah. Saya akan tetap menulis dan menulis semua pembelaan terhadap angan-angan saya. Tentu dalam versi saya. Dan tulisan itu akan saya cetak perbanyak sehingga semua orang akan tahu bahwa saya adalah korban tuduhan tindakan subversive yang sewenang-wenang. Saya yakin pada akhirnya semua orang akan tahu siapa yang keliru. Dan saat semua orang tahu, saya baru bisa menghela napas dan tidur dengan nyenyak.

Dan, inilah ketakutan saya selanjutnya : tidur. Ya. Saya takut tidur sebab setiap kali tidur saya pasti bermimpi. Dan saya cemas. Jangan-jangan mimpi-mimpi saya sudah terekam dan sedang di proses datanya. Dan bila itu terjadi, mungkin suatu saat saya akan dipanggil untuk mempertanggung jawabkan mimpi saya. Dan disanalah saya diserang berbagai pertanyaan yang menyudutkan semua mimpi saya. Meski begitu saya sudah bertekad bahwa saya tidak boleh kalah dalam bermimpi. Biar. Saya akan mati-matian memperjuangkan mimpi saya..

Namun toh akhirnya saya akan tetap dilarang bermimpi.

Kemungkinan-kemungkinan untuk bermimpi semakin dipersempit. Peraturan-peraturan bermimpi dibuat sejelas mungkin. Semua mimpi harus melalui prosedur yang jelas. Mimpi harus melewati Badan Sensor Mimpi, bermimpi lewat dari 1X24 jam wajib lapor, mimpi para pendatang mesti berbeda dengan mimpi para pribumi. Meski kita sendiri tak tahu persis siapa pribumi dan siapa pendatang. Dan ini yang tidak saya mengerti, mimpi juga dianggap bisa merongrong kewibawaan. Maka mungkin akan disyahkan undang-undang baru bagi para pencinta mimpi dengan hukuman yang membikin orang takut bermimpi. Sudah pasti saya lah yang pertama akan terjerat hukuman paling berat. Dan saya tak berhak memberikan pembelaan sedikitpun. Ya saya ditahan tanpa proses pengadilan. Hingga pada suatu malam yang gelap gulita saya digiring ke sebuah tanah lapang. Malam itu hanya ada saya. Saya yang akan segera berhadapan dengan malaikat maut. Lutut saya terasa gemetaran. Sementara dua algojo berbadan kekar telah siap dengan pedang di tangan. Tak mau peduli. Inilah detik-detik terakhir saya menghirup napas. Saya ingin menghirup napas dengan sebebas-bebasnya dan sebanyak-banyaknya. Saya buang semua pertanyaan-pertanyaan saya tentang keadilan.

Adilkah seseorang dihukum tanpa proses pengadilan hanya karena dia bermimpi?

Lampu gelap total.


Selesai di Waturenggong 108@2003

Giri Ratomo

Survey buat nambah penghasilan